Kamis, 04 Juni 2015

TEORI BELAJAR HUMANISTIK



Menurut teori ini proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Teori ini sangat mementingkan isi yang yang dipelajari dari pada proses belajar. Teori ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Teori Humanistik cendrung bersifat eklektik, maksudnya dapat memanfatkan atau merangkum teori belajar apa saja asalkan tujuannya tercapai.

Tokoh-tokoh Penganut Teori Humanistik
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya, honey dan Mumford dengan pembagian tentang macam-macam siswa, Hubemas dengan “Tiga macam tipe belajar”nya, serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya.
1.      Pandangan Kolb terhadap Belajar
Kolb seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi 4, yaitu :
a.      Tahap Pengalaman Kongkret
Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceritrakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling awal dalam proses belajar.
b.      Tahap pengalaman aktif dan reflektif
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi.
c.       Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat dijadikan dasar aturan bersama.
d.       Tahap eksperimentasi aktif
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikian dilakukan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoritis tahap-tahap belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan dari suatu tahap ke tahap belajar di atasnya sering kali terjadi begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya.

2.      Pandangan Honey Dan Mumford Terhadap Belajar
Honey dan Mumford menggolong-golongkan orang yang belajar ke dalam empat macam atau golongan, yaitu kelompok aktivis, golongan reflektor, kelompok teoritis dan golongan pragmatis diantara :
a.    Kelompok aktivis
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang-orang tipe ini mudah diajak berdialog, memiliki pikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan suatu tindakan sering kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sfatnya penemuan-penemuanbaru, seperti pemikiran baru, pengalaman barru dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem solving, barin storming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b.    Kelompok reflektor
Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Dalam dalam melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe reflektor sangant berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu memperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.
c.    Kelompok teoritis
Memiliki kecenderugan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoritis penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d.    Kelompok pragmatis
Berbeda dengan orang-orang tipe prangmatis, mereka memiliki sifat-sifat praktis, tida suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi jika itu semua tidak dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu lebih baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

3.      Pandangan Habermas Terhadap Belajar
Menurutnya, belajar baru akan terjadi jika ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi tipe belajar menjadi tiga, yaitu belajar teknis (technical learning), belajar praktis (practical learning), dan belajar emansipatoris (emancypatory learning).  Masing-masing tipe memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Belajar teknis (technical learning)
Belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat beinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar dapat mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam belajar teknis.
b.  Belajar praktis (practical learning)
Belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesama manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi, dan semacamnya, amat diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka percaya bahwa pemahaman dan keterampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dari kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.
c. Belajar emansipatoris (emancypatory learning)
Belajar emansipatoris menekanan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau informasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap trasformasi kultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan tujuan pendidikan paling tinggi.

4.      Pandangan Bloom Dan Krathwohl Terhadap Belajar
Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutanTaksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah brhasil memberikan ispirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun peraktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pula para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling populer di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom adalah sebagai berikut :
Domain koognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu :
1.      Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2.      Pemahaman (menginterprestasikan)
3.      Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
4.      Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5.      Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh
6.      Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.
Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1.      Peniruan (menirukan gerak)
2.      Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3.      Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4.      Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5.      Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar
Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu :
1.    Pengalaman (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2.    Merespon (aktif berprtisipasi)
3.    Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu)
4.    Pengorganisasan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
5.    Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)

Aplikasi Teori Belajar Humanistik Dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori humanistik sering dikritik karena sukar diterapkan daam konteks yang lebih praktis. Teori ini diangagap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sukar menterjemahkannya ke dalam langkah-langkah yang lebih kongkret dan praktis. Namun karena sifatnya yang ideal, yaitu memanusiakan manusia, maka teori humanistik mampu memberikan arah terhadap semua komponen pembelajaran untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan temasuk tujuan pendidikan diarahkan pada terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yaitu manusia yang mampu mencapai aktualisasi diri. Untuk itu, sangat perlu diperhatikan bagaimana perkembangan peserta didik dalam mengaktualisasi dirinya, pemahaman terhadap dirinya, serta realisasi diri. Pengalaman emosional dan karakteristik khusus individu dalam belajar perlu diperhatikan oleh guru dalam merencanakan pembelajaran. Karena seseorang akan dapat belajar dengan baik jika mempunyai pengertian tentang dirinya sendiri dan dapat membuat pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia akan berkembang. Dengan demikian teori humanistik mampu menjelaskan bagaimana tujuan yang ideal tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan dalam konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini masih sukar diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, namun sumbangan teori ni amat besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini akan dapat membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran seperti perumusan tujuan, penentuan materi, pemilihan strategi pembelajaran, serta pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagai mana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang dapat diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan insiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Dalam prakteknya teori humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar. Oleh sebab itu, walaupun secara ekspilsit belum ada pedoman baku tantang langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan humanistik, namun paling tidak langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001) dapat digunakan sebagi acuan. Langkah-langkah yang dimaksud adalah sebagi berikut :
  1. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
  2. Menentukan materi pembelajaran.
  3. Mengidentifikasi kemampuan awal (entri behvior) siswa.
  4. Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
  5. Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
  6. Membimbing siswa belajar secara aktif.
  7. Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
  8. Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
  9. Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
  10. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.

TEORI KONSTRUKTIVISME





A.  TEORI KONSTRUKTIVISME
1.    Karakteristik Manusia Masa Depan yang Diharap
Karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki adalah manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses balajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses… (to) learn to be  mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya (Raka Joni, 1990).
Kepekaan artinya kemampuan berfikir maupun kemudahan tersentuh hati nurani di dalam melihat dan merasakan segala sesuatu, mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan yang merupakan Gubahan Sang Pencipta.
Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri di samping proses dan hasil berfikir orang lain, serta keberanian bertindak sesuai dengan apa yang diangapnya benar dan perlu.
Tanggung Jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri.
Kolaborasi, berarti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri, individu dengan ciri-ciri diatas juga mampu bekerja sama dengan individu lainnya dalam meningkatkan mutu kehidupan bersama. 
Penerapan ajaran tut wuri handayani merupakan wujud nyata yang bermakna bagi manusia masa kini dalam rangka menjemput masa depan. Untuk melaksanakannya diperlukan penanganan yang memberikan perhatian terhadap aspek strategis pendekatan yang tepat ketika individu belajar. Dengan kata lain, pendidikan ditantang untuk memusatkan perhatian pada terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian terhadap teori belajar konstruktivistik dalam kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan menuju kepada tujuan tersebut.

2.    Konstruksi Pengetahuan
Apa pengetahuan itu? Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif sesorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. 
Proses mengkonstruksi pengetahuan. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan objek dan lingkungan, misalnya dengan melihat mendengar, menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu.
Von Galserfeld (dalam Paul, S, 1996) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksikan pengetahuan, yaitu:
1.      Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
2.      Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
3.      Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses mengkonstruksikan pengetahuan
a.       Konstruksi pengetahuan seseorang yang telah ada
b.      Domain pengalaman
c.       Jaringan struktur kognitif yang dimilikinya

3.    Proses Belajar menurut Teori Konstuktivistik
Proses Belajar Konstuktivistik adalah sebagai pemberian makna oleh siswa melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahkiran struktur kognitifnya.
Peranan Siswa (Si-belajar) menurut pandanagan Konstuktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri atau dengan kata lain hakekat kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa.
Peranan Guru menurut pandanagan Konstuktivistik membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak menstransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuan sendiri.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak
2.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
3.      Menyediakan system dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar. Pendekatan konstruktivistik menekan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
Evaluasi.  hasil belajar konstruktivistik lebih tepat dinilai dengan metode evaluasi goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil konstruktivistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuan-tujuan konstruktivistik. Bentuk-bentuk konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang mengambarkan proses berfikir yang lebih tinggi seperti tingkat “penemuan” pada taksonomi Merril, atau “strategi kognitif” dari Gagne, serta “sintesis” pada taksonomi Bloom. Juga mengkonstruksikan pengalaman siswa, dan mengarahkan evaluasi pada kontek yang luas dengan berbagai perspektif.

4.    Perbandingan Pembelajaran Tradisional (behavioristik) dan Pembelajaran Konstruktivist
Pembelajaran Konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutna akan membentuk struktur kognitif baru.
Perbedaan rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisonal atau behavioristik dan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut:
Pembelajaran Tradisional
Pembelajaran Konstruktivistik
1.   Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan-keterampilan dasar
Kurikulum yang disajikan mulai dari keseluruhan menuju bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.
1.   Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa
2.   Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer-primer dan manipilasi bahan
3.   Siswa-siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru-guru pada umumnya mengggunakan cara didaktif dalam menyampaikan informasi kepada siswa
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.
4.   Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandangsebagai bagian dari  pembelajaran dan biasa dilakukan ada akhir elajaran dengan cara testing.
Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
5.   Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process




Implikasi Teori Konstruktivistik Tehadap Pembelajaran
1.      Menurut Suparno guru berfungsi sebagai mediator dan fasilitator. fungsi fasiltator dan mediator sbb:
a.       Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Dengan demikian, member kuliah atau caramah bukanlah tugas utama seorang guru
b.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya dan mengomunikasikan ide ilmiah mereka, mereka menyediakan sarana yang merangsang siswa berfikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalama yang mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa/
c.       Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa tersebut berguna untuk mengatasi persoalan baru. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
2.      Guru konstruktivis tidak akan pernah membenarkan pengajarannya dengan mengklaim bahwa “ini satu-satunya yang benar” paling-paling mereka hanya mengatakan “ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, ini adalah jalan yang terefektif untuk soal sekarang. (Yon Glasersfeld, dalam Suparno, 1997). Guru perlu menciptakan suasana yang membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalanya. Guru perlu mengaktifkan siswa untuk berfikir. Guru dapat memberikan orientasi dan arah, tetapi tidak boleh memaksakan arah.
3.      Guru perlu membiarkan siswa menemukan cara yang paling menyenangkan dalam pemecahan persoalan.
4.      Guru seharusnya tidak mengajukan dan menuntut satu-satunya jawaban yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman.
5.      Guru perlu pandangan yang luas dan mendalam mengenai pengetahuan tentang bahan yang diajarkan.
6.      Dalam konstruktivisme, guru bukanlah seseorang yang tahu segalanya dan siswa bukanlah yang belum tahu sehingga ia perlu dikasih tahu.